RESEARCH CORNER #2

Penulis: Dian Widya An Naafi, Ratnamaya Aqila Putri Sakana, Vania Reva Amadita, dan Faradina Nur Hanifa. Korektor: Athaya Nasywa Aulia

6/28/202514 min read

Membangun Kedaulatan Ekonomi Digital Indonesia melalui Konsolidasi QRIS dan GPN dalam Menghadapi Dominasi Sistem Pembayaran Global

Sebagaimana transformasi digital telah mengubah paradigma dasar interaksi ekonomi global, sistem pembayaran digital kini termanifestasi sebagai infrastruktur sentral yang tidak hanya memfasilitasi kelancaran transaksi, tetapi juga merepresentasikan instrumen strategis dalam menentukan kedaulatan dan daya saing ekonomi suatu negara. Digitalisasi menandai terbentuknya suatu ekosistem transaksional yang kompleks dan saling terhubung, yang mana sistem pembayaran tidak lagi sekadar berfungsi sebagai perantara nilai, melainkan telah berkembang menjadi simpul kontrol atas data ekonomi, pola konsumsi masyarakat, serta stabilitas moneter. Pernyataan tersebut linear dengan konseptualisasi Klaus Schwab mengenai Revolusi Industri Keempat yang dicirikan oleh tiga karakteristik utama, yakni kecepatan, keluasan dan kedalaman, serta dampak sistemik. Schwab menegaskan bahwa revolusi ini ditandai oleh percepatan perkembangan teknologi yang luar biasa pesat, menciptakan keterhubungan digital secara masif dalam waktu singkat, dan menghasilkan disrupsi yang meluas serta mendalam di berbagai sektor kehidupan.

Kendati demikian, realitas yang berkembang menunjukkan bahwa lanskap sistem pembayaran digital di Indonesia masih didominasi platform asing yang menguasai porsi signifikan dari volume transaksi serta data ekonomi masyarakat. Sebelum upaya konsolidasi sistem pembayaran nasional melalui peluncuran Gerbang Pembayaran Nasional (“GPN”) pada Desember 2017 dan standarisasi transaksi QR melalui Quick Response Code Indonesian Standard (“QRIS”) pada April 2019, sistem pembayaran di Indonesia sangat bergantung pada jaringan internasional seperti Visa dan Mastercard. Imbasnya, meski untuk transaksi domestik berskala kecil, penggunaan kartu debit yang terhubung jaringan global tetap mengalirkan biaya layanan dan data ekonomi ke luar negeri. Demikian halnya diungkapkan oleh Iwan Nurdin, pengamat ekonomi politik, Visa dan Mastercard memotong sekitar 1% dari setiap transaksi. Dalam skala nasional, potensi kerugian negara mencapai miliaran dolar AS per tahun. Yang lebih mengkhawatirkan, mereka juga menguasai data konsumen Indonesia,dalam keterangan tertulis yang disampaikan olehnya. Ketergantungan ini mencerminkan kolonialisme digital yang menggerus kedaulatan ekonomi nasional, sebab kontrol atas infrastruktur pembayaran dan data strategis berada di luar yurisdiksi negara.

Realitas kolonialisme digital tersebut meniscayakan urgensi pembangunan ekonomi digital yang berdaulat dan berkelanjutan, dengan penguatan sistem pembayaran nasional sebagai prioritas mempertahankan kontrol atas data ekonomi, mengatur alur transaksi sesuai kepentingan domestik, dan menciptakan nilai tambah ekonomi yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Hal ini menandai pergeseran paradigma dari ketergantungan teknologi impor menuju ekosistem pembayaran yang mengutamakan kepentingan nasional, diperkuat oleh pengalaman global yang menunjukkan negara dengan ekosistem pembayaran digital yang kuat memiliki posisi tawar lebih baik dalam percaturan ekonomi internasional. Oleh karena itu, munculnya preferensi terhadap sistem pembayaran nasional bukan semata-mata manifestasi proteksionisme ekonomi, melainkan strategi membangun resiliensi ekonomi digital yang mandiri, sejalan dengan amanat konstitusional UUD NRI Tahun 1945 Pasal 33 tentang pengelolaan perekonomian berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kemandirian.

Transformasi melalui QRIS dan GPN ini telah menghasilkan pencapaian yang luar biasa dalam menciptakan ekosistem yang berdaulat pun inklusif. Hingga kuartal I-2025, QRIS telah mencapai 56,3 juta pengguna dengan volume transaksi 2,6 miliar dan nominal transaksi mencapai Rp262,1 triliun, serta mengintegrasikan 38,1 juta merchant yang sebagian besar merupakan UMKM. Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Tika Widiastuti, menegaskan bahwa pengembangan sistem pembayaran domestik ini didasari kepentingan efisiensi, inklusi keuangan, dan kedaulatan sistem pembayaran nasional, sekaligus membuka kemungkinan pengembangan kompatibilitas dengan sistem pembayaran internasional tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Meskipun QRIS dan GPN patut diapresiasi sebagai langkah maju dalam memperkuat ketahanan ekonomi digital Indonesia, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan kompleks yang berpotensi menghambat realisasi optimal visi kedaulatan ekonomi digital. Tantangan ini tidak hanya bersifat teknis operasional, melainkan mencakup dimensi geopolitik ekonomi yang lebih luas, khususnya resistensi dari negara-negara maju yang memiliki kepentingan mempertahankan dominasi platform pembayaran global mereka. Hal ini terbukti dengan kritik dan tekanan diplomatik Amerika Serikat yang mempertanyakan kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia dalam kerangka perdagangan internasional.

Resistensi Amerika Serikat terhadap Kebijakan Sistem Pembayaran Digital Indonesia

Tantangan geopolitik ekonomi tersebut dapat dilihat dalam sikap Amerika Serikat melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (“United States Trade Representative/USTR”) yang secara resmi mengeluarkan inventarisasi hambatan perdagangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam dokumen tersebut, Amerika Serikat secara eksplisit menggarisbawahi implementasi QRIS berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2019 sebagai salah satu regulasi yang dikategorikan penghambat akses pasar bagi korporasi-korporasi Amerika.

Kritik USTR terpusat pada persoalan transparansi dan partisipasi dalam proses pembentukan kebijakan, yang mana entitas-entitas bisnis AS, meliputi penyedia jasa pembayaran dan lembaga perbankan, menyuarakan keberatan terhadap terbatasnya pelibatan stakeholder internasional dalam perumusan kebijakan kode QR oleh Bank Indonesia. Pelaku usaha internasional tidak memperoleh informasi yang memadai mengenai implikasi perubahan yang akan ditimbulkan oleh penerapan sistem QRIS, bahkan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka tentang bagaimana sistem QRIS sepatutnya dirancang agar dapat beroperasi secara harmonis dengan sistem pembayaran global yang telah mapan. Secara teknis, Amerika Serikat juga mengkritik rendahnya interoperabilitas QRIS dengan jaringan pembayaran global, yang dinilai belum memiliki kemampuan untuk terhubung secara langsung dengan sistem pembayaran internasional lainnya sehingga menyulitkan integrasi lintas negara, diperparah oleh standar Application Programming Interface (“API”) QRIS yang belum terbuka sehingga menyebabkan penyedia jasa asing kesulitan mengakses serta mengintegrasikan sistem mereka dengan sistem pembayaran domestik Indonesia.

Terlepas dari permasalahan QRIS, kritik Amerika Serikat juga tertuju pada implementasi GPN melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/08/2017 yang dinilai proteksionis. Regulasi tersebut secara tegas memberlakukan pembatasan kepemilikan asing yang bertingkat, yakni maksimal 20% untuk back-end infrastructure dan izin switching, 49% untuk perusahaan non-bank seperti perusahaan pelaporan kredit, serta 85% untuk penyedia jasa pembayaran non-bank dengan pembatasan hak suara yang dianggap mempersempit ruang gerak investor asing. Selain aspek kepemilikan, GPN juga memuat larangan penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik, sekaligus mengatur kewajiban bagi perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan penyedia switching GPN Indonesia yang telah memiliki izin resmi melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PADG/2017.

Kompleksitas pengaturan ini semakin diperkuat dengan mekanisme persetujuan yang bersifat rigid, yang mana perjanjian kemitraan harus memperoleh persetujuan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan kontribusi perusahaan mitra asing terhadap pengembangan industri domestik Indonesia, termasuk melalui mekanisme alih teknologi. Kondisi normatif inilah yang dipersepsi Amerika Serikat sebagai praktik diskriminatif yang membatasi akses pasar dan menciptakan barrier to entry bagi korporasi-korporasi Amerika Serikat untuk berkompetisi secara fair dalam ekosistem pembayaran digital Indonesia. Kritik tersebut kemudian dituangkan secara formal melalui pencantuman kebijakan-kebijakan terkait dominasi QRIS dan GPN dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (“NTE”) 2025 sebagai indikasi bahwa sektor jasa keuangan digital Amerika Serikat menghadapi hambatan perdagangan yang signifikan di Indonesia.

Legitimasi Yuridis Kebijakan QRIS dan GPN melalui Analisis Prudential Carve-out, Security Exception, dan Right to Regulate dalam Kerangka GATS-WTO

General Agreement on Trade in Services (“GATS”) yang berlaku sejak 1995 di bawah naungan World Trade Organization (“WTO”) merupakan perjanjian multilateral pertama yang mengatur jasa sebagai komoditas perdagangan lintas negara. Tujuan utama GATS adalah menciptakan kepastian hukum bagi penyedia jasa asing, menghapus hambatan diskriminatif, serta mendorong persaingan yang sehat antar negara anggota. Dalam implementasinya, GATS menekankan prinsip non-diskriminasi sebagai pilar utama, yang diwujudkan melalui dua prinsip, yaitu Most-Favoured Nation (“MFN”) dan National Treatment (“NT”). Prinsip MFN sangat penting dalam sistem perdagangan multilateral sehingga ditempatkan pada bagian awal di sejumlah perjanjian utama WTO yang mana prinsip ini mencegah perlakuan khusus kepada mitra tertentu yang berpotensi mengganggu keadilan dalam persaingan global. Paralel dengan prinsip MFN, prinsip NT yang tercantum dalam Pasal XVII GATS mewajibkan negara anggota untuk memperlakukan penyedia jasa asing secara setara dengan penyedia jasa domestik. Kedua prinsip tersebut bertujuan untuk mencegah diskriminasi yang merugikan pelaku usaha jasa dari negara lain. Meski begitu, GATS memberikan ruang bagi negara anggota untuk menerapkan tindakan penyimpangan terbatas yang dibenarkan secara hukum internasional, selama dapat dikaitkan dengan tujuan sah tertentu. Atas dasar kerentanan terhadap potensi tudingan pelanggaran tersebut, Indonesia dapat membangun dasar pembelaan (defensive legal reasoning) dengan bersandar pada dua klausul pengecualian (exception clauses) di dalam GATS, yaitu prudential carve out dan security exception.

Prudential carve out dalam Annex on Financial Services atau Lampiran GATS tentang Jasa Keuangan memberikan wewenang kepada anggota WTO untuk mengambil tindakan prudensial demi menjaga stabilitas sistem keuangan, perlindungan konsumen, dan pencegahan risiko sistemik, meskipun menyimpang dari komitmen liberalisasi. Dalam hal ini, maka kewajiban switching lokal, batas kepemilikan asing, hingga data localization dapat diposisikan sebagai prudential measures karena bertujuan memastikan transaksi diproses di infrastruktur yang diawasi Bank Indonesia dan melindungi data finansial warga negara. Studi dari WTO dan International Monetary Funding (“IMF”) juga menegaskan bahwa carve out bersifat evolutif, artinya, selama negara bisa membuktikan korelasi rasional antara kebijakan dan tujuan prudensial, langkah tersebut sah menurut GATS. Sementara itu, Pasal XIV bis dalam GATS memperbolehkan tindakan Security Exception atau tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanan nasional, termasuk perlindungan infrastruktur vital seperti keuangan negara dan data strategis. Klausul ini memberikan dimensi tambahan dalam justifikasi hukum Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia dapat menyatakan bahwa jaringan pembayaran domestik merupakan critical national infrastructure sehingga ketergantungan pada jalur switching luar negeri dapat menimbulkan kerentanan terhadap cyber-espionage dan extraterritorial data access. Preseden WTO menunjukkan klausul ini bersifat self-judging, tetapi tetap harus proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Maka dari itu, Indonesia perlu menampilkan analisis risiko siber dan data-flow mapping untuk membuktikan keperluan perlindungan dalam pelaksanaan kebijakan QRIS dan GPN ini. Argumen tersebut diperkuat oleh fakta bahwa Bank Indonesia rutin mendiskusikan standar teknis QRIS dan GPN dengan penyelenggara internasional, seperti Visa, Mastercard, hingga EMVCo, serta melaporkannya melalui mekanisme Trade Policy Review di WTO yang mencerminkan adanya unsur transparansi dan konsultasi. Dengan demikian, meskipun mendapat kritik dari Amerika Serikat melalui laporan NTE 2025 oleh USTR, kebijakan mengenai switching lokal, pembatasan kepemilikan asing, dan data localization dapat dibenarkan sebagai langkah sah dalam kerangka GATS, sepanjang Indonesia mendokumentasikan tujuan prudential carve-out dan security exception secara rinci, serta menotifikasikannya dalam Schedule of Specific Commitments apabila diperlukan.

Selain prudential carve out dan security exception, Indonesia juga dapat menjustifikasi kebijakan QRIS dan GPN sebagai bagian dari preferensi nasional yang sah dalam sistem pembayaran digital berbasis prinsip right to regulate, non-intervensi, serta perlindungan ekonomi digital nasional. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia memiliki hak konstitusional melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 yaitu untuk mengatur dan menjaga stabilitas sistem pembayaran demi kepentingan moneter, ekonomi, dan keamanan nasional, sehingga kebijakan QRIS dan GPN yang bertujuan menyatukan sistem pembayaran domestik, menurunkan biaya transaksi, memperluas akses bagi UMKM, dan mengamankan data transaksi sudah berada dalam ruang lingkup right to regulate. Dalam kerangka politik hukum, kebijakan ini juga tidak bertentangan dengan prinsip non-intervensi, sebab meskipun pemerintah menerapkan regulasi protektif seperti switching lokal dan obligasi data lokal, kebijakan tersebut dirancang agar perusahaan asing tetap dapat berpartisipasi dengan syarat dan standar teknis yang setara, bukan dilarang sepenuhnya.

Urgensi perlindungan ekonomi digital nasional juga menjadi basis argumen yang kuat. Era digital membawa risiko besar terhadap kedaulatan data, keamanan siber, dan potensi manipulasi ekonomi. Bank Indonesia, melalui BPSI 2025, menempatkan integrasi QRIS dan GPN sebagai instrumen strategis untuk mengendalikan aliran uang dalam rupiah, mitigasi risiko siber, dan mewujudkan kedaulatan digital dalam sektor finansial. Infrastruktur digital yang dikuasai dalam yurisdiksi domestik memastikan pemerintah dapat mengatur respons krisis keuangan dan siber secara efektif, yang mana hal semacam ini akan sukar dilakukan apabila Indonesia masih tergantung pada sistem asing. Dengan landasan justifikasi hukum ini, Indonesia bukan sekadar melindungi privasi dan stabilitas, tetapi juga menciptakan kondisi agar sektor jasa pembayaran tetap transparan, inklusif, dan kompetitif, dengan tetap membuka pintu bagi investasi dan inovasi global melalui model regulasi berbasis lisensi dan kemitraan lokal.

Strategi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam Melindungi Sistem Pembayaran Digital di Tengah Tekanan Liberalisasi Global

Dalam upaya menyeimbangkan perlindungan kedaulatan sistem pembayaran digital nasional, seperti QRIS dan GPN, Indonesia perlu memperkuat regulasi domestik guna menjaga data dan transaksi pembayaran digital tetap berada di dalam negeri sekaligus mendukung inklusi keuangan, khususnya bagi UMKM. Regulasi tersebut harus disusun secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk melalui mekanisme konsultasi terbuka dengan pelaku usaha internasional agar dapat meminimalkan potensi konflik dan meningkatkan kepercayaan pasar global. Penguatan regulasi ini harus didukung dengan pengembangan ruang uji regulasi yang tidak hanya terbatas pada sektor keuangan, tetapi diperluas ke sektor-sektor lain dalam ekonomi digital untuk menguji setiap inovasi sebelum diluncurkan secara luas, sehingga Indonesia dapat mengakomodasi perkembangan teknologi sambil tetap mempertahankan kontrol regulasi yang memadai.

Sejalan dengan penguatan regulasi domestik, Indonesia perlu memperkuat diplomasi perdagangan secara aktif dan terkoordinasi di tingkat bilateral maupun multilateral. Dalam upaya ini, pemerintah harus menjelaskan bahwa kebijakan QRIS dan GPN bertujuan melindungi kedaulatan digital dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, bukan sebagai bentuk proteksionisme. Diplomasi ini harus didukung dengan data empiris dan analisis yang menunjukkan manfaat ekonomi dari implementasi sistem pembayaran nasional, termasuk penurunan biaya transaksi, peningkatan inklusi keuangan, dan penguatan stabilitas sistem keuangan. Indonesia dapat menggunakan ketentuan Pasal XIV GATS yang membuka ruang bagi pembatasan demi alasan keamanan nasional dan kepentingan publik untuk menghadapi tekanan, termasuk potensi retaliasi tarif dari Amerika Serikat, dengan dasar hukum yang kuat. Sehubungan dengan itu, prinsip timbal balik menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa akses pasar yang diberikan Indonesia kepada perusahaan asing diimbangi dengan akses yang setara bagi perusahaan Indonesia di pasar internasional, termasuk transfer teknologi dan pengembangan kapasitas yang memberikan manfaat nyata bagi ekosistem ekonomi digital nasional.

Tidak hanya sampai di situ, kebijakan inovasi dan kolaborasi menjadi kunci penting untuk menjaga keseimbangan antara proteksi dan keterbukaan. Saat ini, Cross-Border QRIS masih terbatas, yakni meliputi negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Melihat fakta tersebut, Indonesia dapat terus mengembangkan interoperabilitas QRIS dengan sistem pembayaran internasional dan memperluas kerja sama regional, khususnya di ASEAN, untuk membuka peluang pasar tanpa kehilangan kontrol atas infrastruktur domestik. Pendekatan bertahap ini memungkinkan Indonesia untuk menguji dan menyempurnakan sistem keamanan serta protokol interoperabilitas sebelum membuka akses yang lebih luas kepada sistem pembayaran global. Strategi ini akan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi perdagangan global serta meminimalkan risiko sanksi atau retaliasi, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi digital nasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Tantangan koordinasi ini menjadi semakin krusial mengingat Indonesia perlu memberikan respons yang koheren dan konsisten terhadap tekanan liberalisasi global. Fragmentasi regulasi dapat melemahkan posisi tawar Indonesia dalam forum internasional dan memberikan celah bagi kritik tentang inkonsistensi kebijakan. Sebagai contoh, Bank Indonesia telah menerbitkan BSPI 2025, Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Blueprint Transformasi Digital Perbankan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis Visi Indonesia Digital 2045, namun ketiadaan peta jalan pengembangan ekonomi digital yang terintegrasi justru dapat dimanfaatkan oleh Amerika Serikat dan negara-negara maju untuk mempertanyakan kredibilitas komitmen Indonesia terhadap kebijakan QRIS dan GPN. Kondisi ini tidak hanya menciptakan tumpang tindih dalam implementasi kebijakan domestik, tetapi juga mempersulit Indonesia untuk memberikan argumentasi hukum yang kuat ketika menghadapi tuduhan proteksionisme di tingkat global. Maka dari itu, pembentukan peta jalan yang terintegrasi dengan mekanisme koordinasi yang efektif menjadi kebutuhan strategis untuk memperkuat daya tahan Indonesia menghadapi tekanan liberalisasi internasional, bukan sekadar formalitas administratif semata.

Regionalisasi Sistem Pembayaran ASEAN melalui Ekspansi QRIS Lintas Batas (Cross-Border)

Keberhasilan QRIS dalam meningkatkan volume transaksi dan inklusi keuangan digital mendorong Bank Indonesia melihat peluang regionalisasi di ASEAN. Bank Indonesia menjalin kolaborasi dengan Bank Sentral negara-negara Asia Tenggara untuk mengembangkan QRIS Cross-Border, sistem pembayaran lintas negara berbasis QR yang memungkinkan wisatawan asing melakukan pembayaran dengan memindai kode QRIS. Dalam hal ini, implementasi QRIS pada awalnya telah berhasil di Malaysia, Singapura, dan Thailand yang menunjukkan potensi besar untuk meluas ke seluruh negara ASEAN, yang pada gilirannya akan menciptakan ekosistem pembayaran regional yang terintegrasi dan berdaya saing tinggi.

Penggunaan konektivitas pembayaran berbasis QR dapat meminimalkan dampak fluktuasi nilai tukar dan mendukung penggunaan mata uang lokal di kawasan Asia Tenggara. Dalam jangka panjang, inisiatif ini berpotensi berkembang menjadi mekanisme pembayaran regional menggunakan sistem mata uang ASEAN atau mata uang digital bersama, mengurangi ketergantungan terhadap sistem moneter global yang didominasi dolar Amerika Serikat dan menciptakan ekosistem ekonomi digital regional yang mandiri.

Apabila integrasi sistem pembayaran dapat diwujudkan secara optimal, maka besar kemungkinan konektivitas digital di kawasan ASEAN akan berkembang menjadi model kerja sama regional yang mampu bersaing dengan dominasi sistem pembayaran global. Dalam hal ini, Indonesia memiliki peluang strategis untuk mengoptimalkan peran GPN dalam mendukung pembentukan ASEAN Payment Union yang dapat memfasilitasi transaksi seamless antar negara anggota, mengurangi biaya transaksi lintas batas hingga 60-70%, dan meningkatkan volume perdagangan intra-ASEAN secara signifikan. Oleh karenanya, Indonesia berpeluang menjadi katalisator utama dalam mewujudkan ASEAN Payment Union yang mampu menghadirkan transaksi lintas batas yang seamless, efisien, dan kompetitif di tengah dominasi sistem pembayaran global.

Pembelajaran dari Negara Berkembang dalam Membangun Sistem Pembayaran Berdaulat dan Adaptasinya bagi Regulasi serta Diplomasi Hukum Indonesia

Pengalaman negara berkembang menunjukkan kedaulatan ekonomi digital memberikan manfaat berarti bagi stabilitas ekonomi nasional. Tiongkok melalui UnionPay mewajibkan seluruh penerbit kartu menggunakan sistem pembayaran domestik, India dengan RuPay berhasil mengurangi biaya transaksi hingga 60% dan meningkatkan inklusi keuangan secara masif, Rusia mengembangkan sistem Mir sebagai respons sanksi internasional, sementara Brasil mengimplementasikan PIX yang dalam dua tahun memproses lebih dari Rp100 miliar transaksi.

Penerapan model serupa pada QRIS dan GPN berpotensi memberikan keuntungan lebih besar mengingat ukuran ekonomi dan populasi Indonesia. Jika mencapai dominasi pasar seperti UnionPay atau PIX, Indonesia tidak hanya akan mengurangi biaya transaksi nasional secara drastis tetapi juga meminimalkan intervensi global karena kontrol penuh infrastruktur pembayaran berada di tangan pemerintah. Dominasi sistem pembayaran nasional akan menciptakan data ekonomi yang komprehensif dan real-time, memberikan kemampuan merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat sasaran dan responsif.

Oleh karenanya, Indonesia perlu menyusun beberapa strategi dalam membangun sistem pembayaran yang berdaulat melalui QRIS dan GPN. Pertama, memperkuat koordinasi antar lembaga domestik untuk mengatasi fragmentasi regulasi yang masih menjadi kelemahan struktural, sehingga Indonesia dapat memberikan respons yang koheren terhadap tekanan luar maupun peluang kerjasama regional. Kedua, mengintensifkan diplomasi ekonomi digital dengan fokus pada pembangunan koalisi negara berkembang yang memiliki visi serupa tentang kedaulatan ekonomi digital. Ketiga, mempercepat implementasi peta jalan regionalisasi ASEAN dengan target realisasi Serikat Pembayaran ASEAN pada 2030-2035, sambil membuka peluang kerjasama dengan kawasan lain yang memiliki agenda serupa. Ketiga agenda ini sesungguhnya saling menguatkan karena koordinasi domestik yang terpadu akan mempermudah negosiasi regional, sementara kekuatan koalisi regional akan memberikan daya tawar yang lebih besar dalam menghadapi tekanan sepihak dari kekuatan ekonomi global.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PADG/2017 tentang Kemitraan dalam Gerbang Pembayaran Nasional.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/2019 tentang Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025 (BSPI 2025).

Blueprint Transformasi Digital Perbankan. Otoritas Jasa Keuangan.

Visi Indonesia Digital 2045. Kementerian Komunikasi dan Informatika.

  1. Jurnal

Delimatsis, P. dan T. Cottier. “Article XIV bis GATS: Security Exceptions.” ResearchGate Working Paper. 2008: 8-10.

Li, Zhenghui, Hanzi Chen, Siting Lu, dan Pierre Failler. “How Does Digital Payment Affect International Trade? Research Based on the Social Network Analysis Method.” Electronic Research Archive, Vol. 32, No. 3 (5 Februari 2024): 1406-1424.

Nurfitriani, H.I. dan M. Iswan. “Penerapan Prinsip Most Favoured Nation dalam Perjanjian GATS terhadap Tenaga Kerja Asing di Indonesia.” Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol. 4, No. 12 (2024): 1019-1025.

Savsavubun, Finsenzo Frano dan Barnabas Ohoiwutun. “Revolusi Industri 4.0 Menurut Klaus Schwab: Dampak dan Tantangannya Bagi Kehidupan Manusia Dewasa Ini.” Seri Mitra Refleksi Ilmiah-Pastoral, Vol. 2, No. 2 (Juli 2023): 140.

Simanjuntak, Berliana, Aura Permata Putri, dan Aisyah Wafa Syahidah. “Efisiensi Penggunaan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) dalam Mendukung Penjualan di Era Digital.” Jurnal XYZ, Vol. 2, No. 4 (November 2024).

Tobing, Gabriella Junita. “Analisis Peraturan Penggunaan QRIS sebagai Kanal Pembayaran Digital dalam Mewujudkan Ekonomi Digital.” Acia Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 6, No. 3 (2021).

“Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) sebagai Instrumen dalam Optimalisasi Penarikan Pajak Penghasilan (PPh) pada Transaksi E-Commerce.” Jurnal Ilmu Hukum Kyadiren.

  1. Internet

Bank Indonesia. “Five Visions of the Payment System Indonesia 2025.” Press Release. 2019.

CNBC Indonesia. “Ekonomi Digital ASEAN Diproyeksi Capai US$ 330 Miliar di 2025.” 5 September 2023. https://www.cnbcindonesia.com/news/20230905130407-4-469406/ekonomi-digital-asean-diproyeksi-capai-us--330-miliar-di-2025.

CNN Indonesia. “QRIS dan GPN Kena Senggol AS, Apa Alasannya?” CNN Indonesia.com, 22 April 2025. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250422052418-78-1221063/qris-dan-gpn-kena-senggol-as-apa-alasannya.

Digitalbank.id. “AS Kritik QRIS dan GPN, Airlangga Tegaskan Keterbukaan Regulasi.” Digitalbank.id, 2025.

Ernowo, Pasha Yudha. “Pengamat: QRIS dan GPN Jadi Jalan Menuju Kedaulatan Ekonomi Digital.” InfoPublik, 22 April 2025. https://infopublik.id/kategori/nasional-ekonomi-bisnis/915497/pengamat-qris-dan-gpn-jadi-jalan-menuju-kedaulatan-ekonomi-digital.

Estherina, Ilona. “Bos BI Menanggapi Kritik AS soal QRIS: Kami Adopsi dari Standar Global.” Tempo.co, 24 April 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/bos-bi-menanggapi-kritik-as-soal-qris-kami-adopsi-dari-standar-global--1237317.

Febiola, Annisa. “BI Luncurkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025-2030, Ada 5 Fokus Utama.” Tempo.co, 1 Agustus 2024. https://www.tempo.co/ekonomi/bi-luncurkan-blueprint-sistem-pembayaran-indonesia-2025-2030-ada-5-fokus-utama-33008.

Hakim, Abdul dan Ananto Pradana. “Penggunaan Mata Uang Lokal Munculkan Stabilitas Ekonomi di ASEAN.” ANTARA, 4 Juli 2023. https://www.antaranews.com/berita/3618033/penggunaan-mata-uang-lokal-munculkan-stabilitas-ekonomi-di-asean.

Kristianus, Arnoldus. “AS Hanya Butuh Penjelasan.” Investor Daily, 26 April 2025. https://www.pressreader.com/indonesia/investor-daily/20250426/281517936981009.

Lavenia Y, Anastasya dan Ilona Estherina. “Komentar Para Pakar soal Kritik AS terhadap QRIS dan GPN.” Tempo.co, 25 April 2025. https://www.tempo.co/ekonomi/komentar-para-pakar-soal-kritik-as-terhadap-qris-dan-gpn-1247468.

Metronews. “AS Soroti Kebijakan QRIS & GPN Indonesia.” MetroTVNews.com, 2025. https://www.metrotvnews.com/play/b2lCprq2-as-soroti-kebijakan-qris-gpn-indonesia#:~:text=Kebijakan%20QRIS%20dan%20Gerbang%20Pembayaran,tetap%20berada%20di%20dalam%20negeri.

Mileneo, Muhammad Fazer. “QRIS dan GPN Disebut-sebut Bisa Wujudkan Kedaulatan Ekonomi, Apa Alasannya?” Good News From Indonesia, 24 April 2025. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/04/24/qris-dan-gpn-disebut-sebut-bisa-wujudkan-kedaulatan-ekonomi-apa-alasannya.

Novenanty, W.M. “GPN, QRIS, and the Sovereignty of the Republic of Indonesia.” Kompas.id, 2025. https://www.kompas.id/artikel/en-gpn-qris-dan-kedaulatan-nkri.

Nugroho, Sigit. “QRIS dan Minimnya Pelibatan Asing.” News.fin.co.id, 2025.

Perdana, Arif. “Kolonialisme, Feodalisme, dan Imperialisme Digital.” Kompas.id, 24 Mei 2025. https://www.kompas.id/artikel/kolonialisme-feudalisme-dan-imperialisme-digital.

Publication Office of the European Union. Carve-Outs for Prudential Measures and Trade in Financial Services: The GATS and Preferential Trade Agreements. 2024: 4-5. https://op.europa.eu/en/publication-detail/-/publication/682b528e-bb52-11e5-bfdd-01aa75ed71a1?utm.

Shofihawa. “QRIS Bentuk Kedaulatan Digital Indonesia, Bukan Hambatan Perdagangan Global.” feb.ugm.ac.id, 23 April 2025. Diakses pada 23 Juni 2025. https://feb.ugm.ac.id/id/berita/13233-qris-bentuk-kedaulatan-digital-indonesia-bukan-hambatan-perdagangan-global.

Tech in Asia. “Indonesia's Central Bank Responds to US Criticism of QRIS.” Tech in Asia, 2025. https://www.techinasia.com/news/indonesias-central-bank-responds-criticism-qris

Tim Redaksi. “Apa Itu QRIS Cross Border, Pembayaran Lintas Negara yang Untungkan UMKM Lokal.” voi.id, 14 Agustus 2023. https://voi.id/berita/301436/apa-itu-qris-cross-border.

Tobing, Gabriella Junita. “Analisis Peraturan Penggunaan QRIS sebagai Kanal Pembayaran Digital dalam Mewujudkan Ekonomi Digital.” Acia Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 6, No. 3 (2021). https://media.neliti.com/media/publications/363419-none-c828e1fe.pdf.

WTO. “Memahami Dasar-Dasar WTO: Prinsip Sistem Perdagangan tanpa Diskriminasi.” Diakses pada 19 Juni 2025. https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm#:~:text=Membagikan&text=tanpa%20diskriminasi%20%C3%A2%E2%82%AC%E2%80%9D%20suatu,besar%2C%20dan%20hak%20istimewa%20khusus.

  1. Lain-Lain

USTR. National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreements Program. 2025: 212.

WTO. Analytical Index: GATS – Annex on Financial Services (DS Reports). 2024.

Atas dasar urgensi kedaulatan ekonomi digital inilah, pemerintah merumuskan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (“BSPI 2025”) sebagai konkretisasi komitmen nasional yang telah diawali melalui QRIS dan GPN. BSPI 2025 berorientasi pada pembangunan ekosistem yang menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital melalui kewajiban pemrosesan transaksi domestik di dalam negeri dan penerapan prinsip resiprokalitas dengan penyelenggara asing. Implementasi GPN sebagai switching nasional dan QRIS sebagai standar QR nasional telah menunjukkan hasil yang revolusioner dalam menciptakan infrastruktur pembayaran yang tidak hanya mampu bersaing dengan platform global, tetapi juga memberikan kontrol penuh kepada otoritas nasional atas data transaksi dan alur ekonomi digital, dengan interoperabilitas lintas platform domestik yang selaras dengan standar internasional European Master-Visa.