RESEARCH CORNER #1

Tim Penulis: ⁠Maftukhatun Nur Alfina P.R., Loveina Zalianty, Natanael Marsahala Situmorang, Ria Tri Febriani, dan Asri Br Gultom Korektor: Annisa Sabrina

Divisi Riset

4/14/202513 min read

Pada 22 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 (Inpres 1/2025). Inpres tersebut diberikan kepada para Menteri Kabinet Merah Putih, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, para Kepala Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, pimpinan kesekretariatan negara, gubernur, serta bupati/walikota untuk menerapkan langkah-langkah efisiensi anggaran di berbagai sektor. Dalam konteks pengelolaan anggaran, efisiensi anggaran merupakan upaya untuk mengoptimalkan sumber daya yang terbatas guna memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Upaya ini dilakukan tanpa mengorbankan kualitas, dengan memastikan bahwa setiap alokasi anggaran digunakan secara tepat dan strategis. Efisiensi tidak sekadar berfokus pada penghematan biaya, tetapi juga pada optimalisasi penggunaan anggaran untuk menghasilkan dampak yang lebih besar. Berdasarkan Inpres 1/2025, kebijakan ini menargetkan efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun, yang terdiri atas Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga serta Rp50,59 triliun dari dana transfer ke daerah.

Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut, Presiden Prabowo Subianto mengarahkan kementerian dan lembaga pemerintah untuk membatasi belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, pengadaan peralatan dan mesin, serta pengendalian terhadap pengeluaran non-prioritas secara ketat. Di tingkat daerah, kepala daerah diminta untuk memangkas belanja seremonial, studi banding, serta perjalanan dinas hingga 50%, termasuk pembatasan honorarium dan kegiatan pendukung yang tidak memiliki output jelas guna mewujudkan strategi pemerintah dalam mengelola keuangan negara secara efektif dan efisien. Akan tetapi, kebijakan efisiensi justru menuai polemik di masyarakat karena memangkas anggaran dalam berbagai sektor vital, seperti infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan yang dikhawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Pada faktanya, terdapat kontradiksi antara tujuan efisiensi anggaran dengan kondisi struktural pemerintahan yang mengalami perluasan kabinet sehingga justru menambahkan beban biaya operasional. Hal ini sebagaimana dijelaskan ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, yang menilai bahwa kebijakan ini tidak akan efektif karena tidak menyentuh masalah mendasar, yaitu struktur kabinet yang besar dan kompleks. Menurutnya, hal ini justru dapat menyebabkan pemborosan anggaran dalam bentuk biaya operasional, tunjangan, serta birokrasi yang semakin berbelit.1 Maka dari itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai bagaimana kebijakan efisiensi anggaran ini dapat dijalankan tanpa merugikan masyarakat luas.

Inkonsistensi Kebijakan Efisiensi Anggaran antara Wacana Penghematan dan Realitas Pemborosan Birokrasi

Kebijakan efisiensi anggaran terus digaungkan pemerintah semenjak dikeluarkannya Inpres 1/2025, tetapi ironisnya, legal instrument yang eksis hanya menjadi formalitas semata ketika sejumlah kementerian atau lembaga justru melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan semangat penghematan tersebut. Selaras dengan hal itu, Herman N. Suparman selaku Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah menilai bahwa segelintir kebijakan pemerintah pusat dalam beberapa waktu terakhir justru kontradiktif terhadap upaya efisiensi karena berujung pada pemborosan anggaran. Pengangkatan enam staf khusus di Kementerian Pertahanan, retret kepala daerah terpilih selama delapan hari di Magelang, hingga pelaksanaan rapat tertutup oleh legislatif dalam rangka membahas RUU TNI di salah satu hotel ternama di Jakarta merefleksikan adanya inkonsistensi antara penerapan dengan tujuan yang dimanifestasikan dari efisiensi anggaran.

Selanjutnya, langkah Presiden Prabowo Subianto dalam menambah jumlah kementerian menjadi 48 kementerian di kabinet merah putih semakin memperjelas praktik penyimpangan terhadap efisiensi anggaran karena kebijakan ini justru memperbesar belanja negara akibat bertambahnya pos menteri dan wakil menteri.3 Salah satu pemecahan tersebut tercermin pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipecah menjadi tiga kementerian baru, yaitu Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Selain memecah beberapa kementerian, Presiden Prabowo juga menambah satu kementerian baru, yaitu Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang sebelumnya merupakan ranah dari Badan Perlindungan Migran Indonesia. Dalam wacana, Presiden Prabowo juga berkeinginan untuk membangun penjara di tengah laut yang dikelilingi hiu serta terletak di pulau terpencil bagi koruptor kelas berat.4 Rencana pembangunan penjara tersebut justru berkontradiksi dengan tujuan efisiensi anggaran karena akan mengeluarkan biaya yang sangat besar, tetapi tidak efektif menyelesaikan akar permasalahan. Hal ini lantaran penyebab korupsi yang terjadi di Indonesia adalah karena lemahnya integrated criminal justice system serta institusi penegakan hukumnya sehingga seharusnya pemerintah lebih fokus pada penguatan institusi seperti mengembalikan independensi lembaga KPK, perbaikan kinerja Polisi Republik Indonesia dan Kejaksaan, serta memperkuat instrumen hukum yang dapat secara efektif memberantas korupsi seperti optimalisasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lebih lanjut, pembentukan lembaga baru yang bernama Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai badan pengelola investasi Indonesia memperparah inkonsistensi pemerintah dalam efisiensi anggaran. Demi terealisasikannya Danantara, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp556 triliun yang diperoleh melalui skema efisiensi anggaran di berbagai sektor, tetapi pada praktiknya justru mengalihkan anggaran dari sektor-sektor yang lebih krusial, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.6 Alih-alih mengoptimalkan penggunaan dana negara, kebijakan ini justru menunjukkan penerapan efisiensi yang parsial dan tidak konsisten. Jika pola seperti ini terus berlangsung, efisiensi anggaran hanya akan menjadi jargon tanpa implementasi nyata, sementara program-program prioritas semakin jauh dari realisasi dan anggaran negara terus terserap ke dalam kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip efisiensi serta efektivitas.

Catatan Kritis Efisiensi Anggaran terhadap Dinamika Pemangkasan Sektor Strategis

Kebijakan efisiensi anggaran dengan target pemangkasan sebesar Rp306,69 triliun dilakukan melalui pengurangan belanja non-prioritas seperti pengurangan alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan serta subsidi bagi rakyat merupakan contoh konsekuensi langsung dari adanya kebijakan tersebut. Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, M.Hum. selaku guru besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, mengatakan bahwa efisiensi anggaran berdampak bagi sektor pelayanan publik yang vital seperti kesehatan dan pendidikan.7 Anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2025 yang semula berjumlah Rp722 triliun saat ini tersisa Rp607,4 triliun karena dampak pemangkasan anggaran. Pemangkasan anggaran pendidikan ini tentu bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan minimal 20% dari total belanja negara bagi sektor pendidikan karena jumlah anggaran pendidikan setelah dipangkas hanya memenuhi 16,77 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun.8 Dengan adanya pemangkasan anggaran pendidikan ini, pemerintah berisiko mengabaikan komitmennya untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata sehingga berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam mencapai Indonesia emas 2045.

Di sisi lain, pada sektor kesehatan, anggaran Kementerian Kesehatan turut dipangkas dari yang awalnya sebesar Rp105,7 triliun menjadi Rp86,1 triliun atau dipangkas sebesar Rp19,6 triliun. Padahal dengan anggaran sebelum pemangkasan, pemerintah masih menghadapi berbagai masalah seperti pemerataan layanan dan fasilitas kesehatan serta kesejahteraan tenaga kesehatan. Apabila dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, Indonesia hanya mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar 3,71%. Padahal World Health Organization merekomendasikan minimal 5% dari APBN dialokasikan untuk sektor kesehatan. Sementara itu, pada sektor pertahanan, kepolisian, dan intelijen tidak mengalami pemangkasan anggaran yang signifikan.10 Alokasi anggaran yang tetap besar pada sektor keamanan menunjukkan bahwa pemerintah lebih menitikberatkan pada aspek pertahanan negara dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar-pendidikan dan kesehatan-masyarakat.

Menilik dari pemangkasan anggaran tersebut, keputusan ini memicu kecaman berbagai kalangan, baik dari akademisi, tenaga medis, maupun masyarakat sipil. Guru Besar Universitas Gadjah Mada Departemen Manajemen Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., mengkritisi sekaligus menyayangkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran justru diterapkan pada kementerian-kementerian yang berperan penting seperti pendidikan dan kesehatan, sedangkan kementerian pertahanan tidak mengalami pengurangan anggaran secara signifikan yang tercermin pada tetap berjalannya anggaran untuk alat persenjataan.11 Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk berbagai sektor seharusnya dapat ditinjau kembali guna memastikan keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan nasional yang lebih mendesak.

Implikasi Efisiensi Anggaran pada Sektor Vital terhadap Kesejahteraan Masyarakat

Kebijakan efisiensi anggaran membawa dampak signifikan yang dapat dirasakan secara langsung, seperti terhambatnya pelaksanaan berbagai program strategis di kementerian atau lembaga pemerintah akibat berkurangnya insentif dana operasional. Kondisi demikian tercermin pada pemotongan anggaran sebesar Rp8,03 triliun dan Rp14,3 triliun yang terjadi di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Pemangkasan anggaran pada Kemendiktisaintek ini menyasar tunjangan dosen non-pegawai negeri sipil, berbagai jenis bantuan sosial beasiswa, hingga layanan publik di perguruan tinggi. Hal tersebut berpotensi meningkatkan biaya kuliah mahasiswa dan menghilangkan kesempatan ribuan mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan mereka. Kondisi serupa juga dapat terjadi pada pendidikan tingkat dasar dan menengah khususnya di daerah terpencil yang masih sangat bergantung pada bantuan pemerintah. Padahal dalam Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 terdapat jaminan hak bagi setiap warga negara atas pendidikan.

Implikasi lain terdapat pada sektor kesehatan, yang berdampak pada sejumlah ketersediaan layanan kesehatan, termasuk pengadaan obat dan vaksin sehingga berpotensit berdampak pada sulitnya akses terhadap layanan medis berkualitas dan meningkatkan risiko paparan penyakit. Linear dengan pernyataan tersebut, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Dyah Mutiarin, S.IP., M.Si. mengatakan bahwa pemangkasan anggaran di sektor kesehatan akan berpotensi mengganggu pelayanan kesehatan dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat terutama terkait penanganan penyakit dan masalah stunting. Kondisi tersebut juga diprediksi dapat mendegradasi tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan karena kesehatan yang buruk akan berimbas langsung pada produktivitas tenaga kerja serta peningkatan angka kematian. Padahal Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945 sudah mengamanatkan agar negara menyediakan pelayanan kesehatan sebagai pemenuhan hak esensial setiap warganya.

Selain pendidikan dan kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang bergerak di sektor infrastruktur juga mengalami pemangkasan besar-besaran dari yang sebelumnya Rp110,95 triliun menjadi hanya Rp29,57 triliun. Pengurangan anggaran ini menyebabkan pembatalan dan penundaan sejumlah proyek penting. Menteri PU, Dody Hanggodo, mengungkapkan bahwa beberapa proyek fisik baru, baik yang bersifat single year contract (SYC) maupun multi years contract (MYC), terpaksa dibatalkan atau ditunda pelaksanaannya. Akibatnya, pembangunan infrastruktur vital untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan konektivitas antarwilayah menjadi terhambat. Dari sisi tenaga kerja, pemangkasan ini juga berdampak langsung terhadap sekitar 18 ribu pegawai kontrak di Kementerian PU, di mana kontrak yang telah habis masa berlakunya belum dapat diperpanjang karena anggaran masih dalam tahap evaluasi.

Efisiensi anggaran terhadap sektor vital akan menimbulkan negative multiplier effect yang sistemik apabila tidak terimplementasi dengan tepat. Misalnya pemangkasan anggaran pendidikan yang berpotensi mengurangi kualitas sumber daya manusia yang dalam jangka panjang dapat melemahkan daya saing tenaga kerja nasional dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dalam sektor kesehatan, berkurangnya alokasi anggaran dapat menurunkan kualitas layanan kesehatan, meningkatkan angka penyakit yang tidak tertangani, serta menurunkan produktivitas tenaga kerja. Jika kondisi ini berlangsung lama, beban sosial dan ekonomi yang ditanggung oleh negara akibat rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat akan semakin masif.

Di sisi lain, pemangkasan anggaran di sektor infrastruktur juga dapat meningkatkan angka pengangguran dan menurunkan pendapatan masyarakat yang bergantung pada sektor konstruksi dan infrastruktur. Tak hanya itu, pemotongan anggaran juga memengaruhi kualitas pelayanan publik. Penundaan atau pembatalan proyek infrastruktur mengurangi akses masyarakat terhadap fasilitas umum yang layak, seperti jalan, jembatan, dan sanitasi sehingga dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal. Dampak ini akan semakin memperburuk ketimpangan ekonomi dan memperlebar kesenjangan kesejahteraan antarwilayah. Secara definitif, pemotongan anggaran di ketiga sektor vital tidak hanya berdampak destruktif pada layanan publik, tetapi juga dapat menciptakan efek domino yang melemahkan fondasi sosial-ekonomi negara dalam jangka panjang.

Menimbang Keadilan Sosial dalam Kebijakan Efisiensi Anggaran

Masalah ketidakseimbangan sosial dan ekonomi masih menjadi fokus utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Upaya penghematan anggaran, walaupun dimaksudkan untuk menstabilkan keuangan negara, seringkali memberikan konsekuensi buruk bagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Kelompok ini termasuk masyarakat berpenghasilan rendah, individu dengan disabilitas, kaum perempuan, pekerja sektor informal, dan penduduk di wilayah terisolasi. Pengurangan dana untuk bidang-bidang penting seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial berpotensi memperburuk situasi mereka.

Di Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai grundnorm atau norma dasar yang menjadi landasan utama dalam menilai dan merumuskan kebijakan pemerintah. Secara khusus, sila ke-5, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menegaskan prinsip distribusi sumber daya yang adil dan merata bagi seluruh warga negara. Kebijakan efisiensi anggaran yang mengabaikan kepentingan kelompok rentan, seperti masyarakat berpenghasilan rendah, penyandang disabilitas, pekerja sektor informal, serta masyarakat di daerah tertinggal, berpotensi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai contoh, pemangkasan anggaran untuk layanan kesehatan dan pendidikan dapat membatasi akses kelompok ini terhadap kebutuhan dasar, sehingga memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi.

Kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia tampak jelas dalam disparitas tingkat perkembangan antara daerah tertinggal dan kawasan perkotaan. Masyarakat urban umumnya memiliki akses lebih mudah terhadap infrastruktur modern, institusi pendidikan berkualitas, fasilitas kesehatan yang memadai, serta peluang kerja yang lebih luas. Sebaliknya, komunitas di daerah tertinggal sering kali menghadapi keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, seperti akses terhadap air bersih, jaringan listrik, transportasi publik yang memadai, serta layanan pendidikan dan kesehatan.

Ketimpangan ini memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Salah satunya adalah fenomena migrasi besar-besaran dari desa atau daerah tertinggal ke perkotaan dalam upaya mencari kesempatan ekonomi yang lebih baik. Urbanisasi yang tidak terkendali dapat memicu permasalahan baru, seperti meningkatnya angka pengangguran di kota akibat keterbatasan daya serap tenaga kerja serta penurunan produktivitas di sektor agraria dan perikanan di daerah asal migran. Selain itu, kesenjangan yang terus melebar berpotensi menciptakan kemiskinan struktural, yaitu kondisi di mana kelompok rentan sulit keluar dari lingkaran kemiskinan akibat keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak. Dalam skala yang lebih luas, ketidakadilan ini dapat menjadi faktor pemicu instabilitas sosial yang berujung pada meningkatnya potensi konflik horizontal maupun vertikal dalam masyarakat.

Dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut, dibutuhkan strategi kebijakan yang tepat guna. Pengaturan ulang anggaran perlu dilaksanakan dengan memastikan bidang-bidang krusial seperti pendidikan dan kesehatan tetap menerima porsi dana yang cukup untuk menunjang kelompok-kelompok yang membutuhkan. Di samping itu, pengembangan sarana dasar di daerah tertinggal harus menjadi prioritas demi menjamin tersedianya akses layak terhadap masyarakat. Program jaminan sosial juga perlu diperluas jangkauannya, baik dari segi kepesertaan, aksesibilitas, maupun efektivitas manfaatnya. Perluasan ini dapat dilakukan dengan memperbanyak fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan di daerah tertinggal, meningkatkan cakupan perlindungan bagi pekerja informal dalam BPJS Ketenagakerjaan, serta memperluas penerima manfaat KIP Kuliah dengan menambah kuota di wilayah dengan angka putus sekolah tinggi.

Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang tidak tepat justru dapat menggagalkan upaya-upaya tersebut. Jika pemangkasan anggaran dilakukan tanpa mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat, maka akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, dan perlindungan sosial yang layak akan semakin terbatas. Pada akhirnya, hal ini tidak hanya memperparah ketimpangan sosial, tetapi juga menghambat pembangunan manusia yang menjadi kunci dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Maka dari itu, kebijakan efisiensi anggaran harus tetap selaras dengan prinsip keadilan sosial, sehingga kesejahteraan masyarakat tetap menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan fiskal yang diambil pemerintah.

Pemerintah Indonesia Seyogyanya Menginternalisasi Pelajaran di Amerika Serikat dan Vietnam dalam Efisiensi Anggaran

Efisiensi anggaran bukanlah kebijakan yang hanya diterapkan di Indonesia saja. Beberapa negara, seperti Vietnam dan Amerika Serikat, telah lebih dahulu melaksanakan kebijakan ini dengan pendekatan yang berbeda-beda. Masing-masing negara memiliki strategi dan mekanisme tersendiri dalam mencapai tujuan efisiensi, yang seringkali melibatkan reformasi birokrasi, pengurangan anggaran, dan restrukturisasi lembaga pemerintah.

Di Amerika Serikat, kebijakan efisiensi anggaran dimulai pada Januari 2025 dengan membentuk Department of Government Efficiency (DOGE), sebuah departemen khusus yang bertugas meningkatkan efisiensi pemerintahan. Departemen ini dipimpin oleh Elon Musk, yang ditunjuk langsung oleh Presiden Donald Trump. DOGE memiliki beberapa tugas utama, termasuk membedah birokrasi pemerintah, memangkas regulasi yang dianggap berlebihan, menghapus anggaran yang tidak bermanfaat, serta melakukan restrukturisasi lembaga-lembaga federal.21 Sebagai lembaga ad hoc, DOGE ditargetkan untuk memotong pengeluaran anggaran sebesar 1 triliun USD dalam jangka waktu 1,5 tahun, terhitung sejak Januari 2025 hingga Juni 2026. Sejak beroperasi, DOGE telah menerapkan berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra dari masyarakat. Salah satu kebijakan yang dinilai paling radikal adalah penutupan United States Agency for International Development (USAID), lembaga pendanaan global yang telah beroperasi selama 64 tahun.22

Sementara itu, Vietnam mengambil pendekatan yang berbeda dalam menerapkan efisiensi anggaran. Negara ini melakukan perombakan birokrasi secara masif untuk menghemat anggaran, salah satunya dengan pengurangan jumlah kementerian dan lembaga pemerintah yang semula sebanyak 30 menjadi 22 kementerian dan lembaga.23 Selain itu, Vietnam juga mengurangi 20% dari total jabatan yang ada, mencakup 13 departemen umum dan organisasi setara, 519 departemen, 3.303 cabang, dan 203 unit layanan publik. Dampak dari kebijakan ini cukup signifikan, di mana sekitar 100.000 orang harus berhenti bekerja atau ditawarkan pensiun dini. Meskipun langkah ini berhasil menghemat anggaran, dampak sosialnya tidak bisa diabaikan, terutama bagi para pegawai yang kehilangan pekerjaan.

Pada akhirnya, setiap negara memiliki mekanisme dan strategi masing-masing dalam melakukan efisiensi anggaran, dan setiap pendekatan memiliki sisi positif dan negatifnya. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, terdapat beberapa prinsip yang dapat dijadikan panduan untuk mewujudkan kebijakan efisiensi anggaran yang efektif dan tepat sasaran. Pertama, efisiensi anggaran harus dilakukan melalui pertimbangan yang matang dan analisis mendalam, disertai dengan manajemen risiko yang komprehensif. Hal ini penting untuk menghindari dampak negatif yang tidak terduga, seperti terganggunya pelayanan publik atau meningkatnya pengangguran. Kedua, reformasi birokrasi yang berkelanjutan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik. Reformasi ini dapat mencakup penyederhanaan prosedur administratif, peningkatan akuntabilitas, dan optimalisasi alokasi anggaran agar lebih tepat sasaran.

Di tengah upaya efisiensi anggaran, penting untuk diingat bahwa dibalik angka-angka dan kebijakan tersebut, terdapat banyak pihak yang terdampak. Efisiensi anggaran sejatinya tidak hanya tentang memangkas angka atau mengurangi pengeluaran, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang lebih baik untuk semua. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dijalankan dengan hati-hati, mempertimbangkan dampak sosial yang akan terjadi, dan memastikan bahwa tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan implementasi kebijakan yang terukur menjadikan efisiensi anggaran sebagai instrumen strategis dalam membangun tata kelola pemerintahan yang lebih efektif, akuntabel, serta berorientasi pada kepentingan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.

Sumber Internet

Agatha, T., & Rezy, F. (2025, Februari 7). Menteri PU Ungkap 10 Dampak yang Terjadi Imbas Pemangkasan Anggaran Jumbo Rp81,38 Triliun. VOI.ID. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://voi.id/ekonomi/457965/menteri-pu-ungkap-10-dampak-yang-terjadi-im bas-pemangkasan-anggaran-jumbo-rp81-38-triliun.

Alokasi Anggaran untuk Kesehatan RI Kalah dari Negara Miskin. (2019). Kebijakankesehatanindonesia.net. Diakses dari https://kebijakankesehatanindonesia.net/25-berita/berita/98-alokasi-anggaran- untuk-kesehatan-ri-kalah-dari-negara-miskin.

Artinta, D. (2025, Februari 6). Pemangkasan Anggaran Kementerian Kesehatan Capai Rp19,6 Triliun. Kompas.ID. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://www.kompas.id/artikel/pemangkasan-anggaran-belanja-kementerian-ke sehatan-capai-rp-196-triliun.

Basyari, I. (2025, Februari 12). Inkonsistensi Kebijakan Efisiensi Anggaran Dikhawatirkan Picu Demotivasi Pegawai. Kompas.ID. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://www.kompas.id/artikel/inkonsistensi-kebijakan-efisiensi-anggaran-picu -demotivasi-pegawai.

Benny, E. (2024, Agustus 14). Efisiensi Pengelolaan Anggaran: Mengurangi Pemborosan dan Meningkatkan Hasil. DJPB.Kemenkeu.GO.ID. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/watampone/id/data-publikasi/berita-terbaru/ 3686-efisiensi-pengelolaan-anggaran-mengurangi-pemborosan-dan-meningkat kan-hasil.html.

Dede, Z. M. (2025, Februari 14). Efisiensi Anggaran - Kabinet Gemuk: Paradoks? RajaMedia.CO. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://rajamedia.co/berita/efisiensi-anggaran-kabinet-gemuk-paradoks.

DPR dan Pukat UGM Kupas Tuntas Rencana Prabowo Bangun Penjara Koruptor: Efektif? (2025). Kompas TV. Jakarta, Indonesia.

Digivestasi. (2025, Februari 14). Pemangkasan Anggaran Rp306 Triliun: Bagaimana Dampaknya pada Ekonomi Indonesia? Digivestasi.COM. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://www.digivestasi.com/news/detail/bisnis_ekonomi/pemangkasan-anggar an-rp306-triliun-bagaimana-dampaknya-pada-ekonomi-indonesia.

Efisiensi Anggaran: Hemat atau Malah Merugikan Masyarakat? (2025, Maret 15). Berita UMS. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://news.ums.ac.id/id/02/2025/efisiensi-anggaran-hemat-atau-malah-merug ikan-masyarakat/.

Humas DPRD JABAR. (2025, Februari 25). Efisiensi Anggaran, Komisi II DPRD Jabar Meminta Tidak Pangkas Program Prioritas. DPRD.JabarProv.GO.ID. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://dprd.jabarprov.go.id/berita/478/efisiensi-anggaran-komisi-ii-dprd.

Inkonsistensi Efisiensi Anggaran. (2025, Februari 15). Kompas.ID. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/inkonsistensi-efisiensi-anggaran.

Irawaty. (2025, Februari 13). Kritik Mengalir, Efisiensi Anggaran Prabowo Dinilai Berisiko. InfobankNews.COM. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://infobanknews.com/kritik-mengalir-efisiensi-anggaran-prabowo-dinilai- berisiko/.

Kumalasari, S. R. (2025, Maret 15). Presiden Prabowo Ingin Bangun Penjara Khusus Koruptor, Efektifkah Memberantas Korupsi? Kompas.ID. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/presiden-prabowo-ingin-bangun-penjara-khusu s-koruptor-efektifkah-memberantas-korupsi.

Leony. (2025, Februari 14). Pemangkasan Anggaran Bisa Berdampak pada Pelayanan Publik, Pakar UGM Minta Pemerintah Kaji Ulang dan Tidak Bergaya Hidup Mewah. UGM.AC.ID. Diakses dari https://ugm.ac.id/id/berita/pemangkasan-anggaran-bisa-berdampak-pada-pelay anan-publik-pakar-ugm-minta-pemerintah-kaji-ulang-dan-tidak-bergaya-hidup -mewah/.

Muhsin. (2025, Februari 10). TNI-Polri hingga DPR Tak Kena Pemangkasan Anggaran, Dandhy Laksono: Semua Dipangkas Kecuali Alat Gebuknya. Fajar.CO.ID. Diakses dari https://fajar.co.id/2025/02/10/tni-polri-hingga-dpr-tak-kena-pemangkasan-ang garan-dandhy-laksono-semua-dipangkas-kecuali-alat-gebuknya/2/.

Napitupulu, E. L. (2025, Februari 13). Pemangkasan Anggaran Pendidikan Tinggi Bisa Picu Biaya Kuliah Naik. Kompas.ID. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://www.kompas.id/artikel/efisiensi-anggaran-pendidikan-tinggi-bisa-berd ampak-pada-kenaikan-biaya-kuliah-di-ptn-dan-pts.

Putri, D. L., & Afifah, M. N. (2024, Oktober 21). Daftar 9 Kementerian yang Dipecah di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Kompas.COM. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2024/10/21/161500065/daftar-9-kementeri an-yang-dipecah-di-kabinet-merah-putih-prabowo-gibran.

SmartId. (2025, Januari 22). Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. SmartId.CO.ID. Diakses pada 18 Maret 2025, dari https://smartid.co.id/instruksi-presiden-inpres-nomor-1-tahun-2025/.

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (2025, Februari 15). Pakar UMY Minta Efisiensi Anggaran Dikaji Ulang, Jangan Pangkas Anggaran yang Sentuh Pelayanan Publik Dasar. UMY.AC.ID. Diakses pada 16 Maret 2025, dari https://www.umy.ac.id/pakar-umy-minta-efisiensi-anggaran-dikaji-ulang.

Yaputra, H. (2025, Februari 18). Dosen Unair Sebut Pemangkasan Anggaran Ingkari Amanat 20 Persen APBN untuk Pendidikan. Tempo.com. Diakses dari https://www.tempo.co/politik/dosen-unair-sebut-pemangkasan-anggaran-ingka ri-amanat-20-persen-apbn-untuk-pendidikan-1208942.

Yulianti, C. (2025, Februari 12). JPPI Ungkap 5 Dampak Efisiensi Anggaran Pendidikan, Siswa Terancam Putus Sekolah. DetikEdu. Diakses dari https://www.detik.com/edu/edutainment/d-7774928/jppi-ungkap-5-dampak-efi siensi-anggaran-pendidikan-siswa-terancam-putus-sekolah.

Zaskia, K. (2025, Maret 15). Danantara, Ambisi Korporat. Wacana-edukasi.com. Diakses dari https://www.wacana-edukasi.com/danantara-ambisi-korporat/.

Menelisik Efisiensi Anggaran dalam Perumusan Kebijakan Publik yang Berdaya Guna dan Berorientasi pada Keberlanjutan