Business Law Creative Media Vol. 1

Business Law Division

Grizelda Petra, Nono Cecile, dan Havid Gillbran

4/28/202512 min read

Penguatan Sistem Perdagangan Aset Kripto melalui Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Pendahuluan

Sejak kehadirannya pada tahun 2013, aset kripto terus mengalami perkembangan hingga pada tahun 2018. Kemudian, perkembangan tren aset kripto di Indonesia mendorong pemerintah untuk mulai menyusun kerangka regulasi terkait dengan aset kripto. Kebutuhan akan kerangka regulasi tersebut menjadi dasar ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto. Hadirnya regulasi tersebut menjadi dasar pengakuan aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Oleh karena itu, aset kripto berada di bawah naungan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (“Bappebti”) sebagaimana Pasal 1 angka 1 Peraturan Bappebti Nomor 13 Tahun 2022 jo. Peraturan Bappebti Nomor 8 Tahun 2021 yang secara tegas menyebut Bappebti sebagai lembaga pemerintah yang memiliki tugas dalam melakukan pembinaan, pengaturan, pengembangan, dan pengawasan perdagangan berjangka. Dengan demikian, Bappebti secara resmi menjadi lembaga yang berwenang mengatur dan mengawasi perdagangan aset kripto di Indonesia. 

Sebagai tindak lanjut, Bappebti mengeluarkan Peraturan Kepala Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka, yang mengatur secara teknis bagaimana aset kripto diperdagangkan, termasuk syarat pendaftaran, tata kelola exchange, serta mekanisme transaksi dan perlindungan konsumen. Di bawah pengawasan Bappebti, aset kripto secara hukum diposisikan sebagai komoditas dalam kerangka perdagangan berjangka. Artinya, aset kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, tetapi dianggap sebagai instrumen keuangan yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperjualbelikan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang menyatakan bahwa mata uang di Indonesia adalah rupiah.

Sejak tahun 2018, pasar aset kripto di Indonesia mulai berkembang, seperti bitcoin yang tercatat memiliki volume perdagangan harian terbesar di Indonesia dengan volatilitas harga yang signifikan. Akan tetapi, perkembangan tersebut tidak terlepas dari adanya perkembangan negatif yang ditandai dengan munculnya sejumlah investasi aset kripto ilegal di Indonesia. Sebagai contoh, terdapat aplikasi Sultan Digital Payment yang melakukan penawaran investasi aset kripto tanpa izin dan aplikasi RoyalQ Indonesia yang merupakan aplikasi perdagangan aset kripto tanpa izin. Perkembangan aset kripto yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran makna yang semula merupakan komoditas berubah menjadi aset keuangan digital yang erat hubungannya dengan sektor keuangan. Pergeseran makna tersebut tercerminkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU P2SK”) yang menetapkan bahwa pengawasan terhadap industri aset kripto akan dialihkan secara bertahap kepada Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”).

Sebagai respons atas dinamika perkembangan aset kripto yang semakin pesat dan kompleks, terutama dengan meningkatnya jumlah pelaku dan diversifikasi produk, muncul kebutuhan akan pengawasan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan karakteristik aset kripto sebagai instrumen investasi digital. Meskipun sebelumnya berada di bawah pengawasan Bappebti sebagai komoditas dalam perdagangan berjangka, realitas di lapangan menunjukkan bahwa aset kripto semakin menyerupai instrumen keuangan yang berkaitan erat dengan sektor jasa keuangan. Oleh karena itu, agar pengawasan dan perlindungan terhadap masyarakat dapat dilakukan secara lebih optimal, serta sejalan dengan prinsip integrasi sektor keuangan, pemerintah melalui UU P2SK dan PP 49/2024 memutuskan untuk mengalihkan kewenangan pengaturan dan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK.

Alasan Transisi Pengawasan Aset Kripto dari Bappebti ke OJK

Secara yuridis, peralihan kewenangan ini merupakan implementasi dari Pasal 8 angka 4 dan Pasal 312 ayat (1) UU P2SK; serta Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital, Termasuk Aset Kripto dan Derivatif Keuangan (“PP 49/2024”). PP 49/2024 mengatur mengenai mekanisme peralihan kewenangan tersebut, termasuk jangka waktu diselesaikan peralihan. Peralihan tersebut wajib selesai dalam waktu paling lambat 24 bulan sejak diundangkannya UU P2SK. Kemudian, terdapat dua alasan yang dapat dijadikan dasar pengalihan pengawasan. Pertama, kesesuaian OJK sebagai lembaga pengawas. Menurut Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, perihal keuangan digital khususnya investasi lebih sesuai apabila diatur oleh OJK karena salah satu tugas OJK adalah mengawasi aktivitas yang melibatkan penghimpunan dana dari masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengawasan aset kripto lebih tepat berada di bawah kewenangan OJK karena aset kripto tergolong ke dalam ranah investasi. Selain itu, aset kripto merupakan aset tidak berwujud (intangible) sehingga kurang sesuai jika diatur oleh Bappebti yang berwenang atas perdagangan berjangka yang merupakan aset berwujud (tangible). Kedua, stabilitas sistem keuangan. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menjelaskan bahwa peralihan dilakukan sebagai upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, pendalaman pasar keuangan terintegrasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap prinsip perlindungan konsumen. Untuk merealisasikan upaya tersebut, OJK menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 (“POJK 27/2024”) tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto; serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20 Tahun 2024 (“SEOJK 20/2024”) Tentang Mekanisme Pelaporan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto.6 Pemberlakuan regulasi tersebut diharapkan dapat memberikan pengaturan dan pengawasan yang lebih terarah. Salah satunya adalah upaya menekan potensi penyalahgunaan seperti pencucian uang sehingga tercipta lingkungan investasi yang lebih stabil dan aman bagi konsumen aset kripto di Indonesia. Langkah ini juga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan industri aset kripto yang lebih inklusif dan berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi digital nasional.

Mekanisme Pengawasan Aset Kripto Di Bawah Bappebti

Di bawah Bappebti, pengawasan berfokus pada kepatuhan terhadap ketentuan teknis, struktur tata kelola, integritas sistem, serta pelaporan dan pemantauan transaksi yang dilakukan oleh pedagang aset kripto. Salah satu mekanisme pengawasan yang diterapkan oleh Bappebti adalah kewajiban pedagang aset kripto untuk memberikan akses sistem elektronik kepada Bappebti. Selanjutnya, Bappebti memiliki kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit sistem perdagangan daring milik pedagang aset kripto. Dalam melaksanakan audit tersebut Bappebti menggunakan lembaga independen yang kompeten di bidang sistem informasi. Jika hasil audit menunjukkan bahwa sistem atau sarana perdagangan tidak memenuhi standar yang ditetapkan, pedagang aset kripto diwajibkan untuk menyesuaikan atau mengganti sistem tersebut atas persetujuan Kepala Bappebti. Selain itu, Bappebti juga berwenang untuk melakukan pengecekan fisik terhadap prasarana dan meminta dokumen tambahan guna memastikan keabsahan perizinan. Dalam pengawasan terhadap aktivitas transaksi, pedagang aset kripto diwajibkan untuk melaporkan transaksi mencurigakan kepada Bappebti dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”) yang menunjukkan integrasi pengawasan Bappebti dengan sistem pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Kendati kerangka pengawasan yang dijalankan oleh Bappebti telah mencakup berbagai aspek teknis dan administratif, tetapi pelaksanaan pengawasannya masih belum dapat mengimbangi karakteristik aset kripto yang dinamis dan sarat teknologi. Beberapa kekurangan dalam sistem pengawasan Bappebti antara lain, Pertama, belum diaturnya mekanisme pengawasan lebih lanjut terhadap status dan aktivitas calon pedagang aset kripto yang belum melakukan transaksi perdagangan aset kripto. Ketidakhadiran mekanisme pengawasan ini membuka ruang potensi penyalahgunaan status administratif oleh pihak yang belum layak untuk beroperasi secara fungsional. Kedua, pemantauan dan pengawasan yang masih dilakukan secara manual. Seperti adanya penyampaian laporan transaksi harian yang masih menggunakan e-mail berpotensi menyebabkan keterlambatan pelaporan. Hal ini menimbulkan keterbatasan bagi Bappebti untuk melakukan pemantauan secara real-time terhadap aktivitas perdagangan yang bergerak cepat dan fluktuatif. Ketiga, lemahnya sistem pengawasan terhadap pihak yang melakukan transaksi harian kripto bernilai material dan transaksi harian aset kripto di luar ketetapan peraturan Bappebti. Hal ini menimbulkan potensi kerugian besar bagi masyarakat, termasuk hilangnya dana investasi akibat aktivitas yang tidak diawasi secara memadai Keempat, penyampaian informasi kepada publik belum dilakukan secara transparan, dinamis, dan tidak disertai dengan identitas yang lengkap. Sebagai contoh, whitepaper, link resmi, maupun data pendukung lainnya masih belum dapat diakses oleh publik secara daring. Ketidaktersediaan informasi ini tidak hanya menyulitkan masyarakat dalam mengenali aset yang legal, tetapi juga menghambat proses pengawasan yang berbasis risiko. Kelemahan-kelemahan tersebut menunjukkan bahwa sistem pengawasan aset kripto di bawah Bappebti belum cukup adaptif terhadap kompleksitas dan dinamika pasar aset kripto.

Mekanisme Pengawasan Aset Kripto Pasca POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024

Sejak diterbitkannya POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024, pengawasan terhadap aset keuangan digital mengalami pergeseran menuju pendekatan yang lebih holistik, terintegrasi, dan berbasis risiko. Secara normatif, Pasal 3 POJK 27/2024 menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran mendalam dalam segi pengawasan yaitu dengan mewajibkan pihak yang terkait dengan penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital, yang meliputi pihak utama bursa, lembaga kliring penjaminan dan penyelesaian, pengelola tempat penyimpanan, dan pedagang aset keuangan digital untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik, manajemen risiko, integritas pasar, keamanan sistem informasi, perlindungan konsumen, pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)/Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), perlindungan data pribadi, serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Kemudian, berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 14 POJK 27/2024, OJK berwenang mengevaluasi dan melarang perdagangan aset keuangan digital di pasar aset keuangan digital jika ditemukan risiko sistemik atau pelanggaran. Sebelumnya penghentian hanya dilakukan melalui delisting, yaitu pengeluaran aset yang tidak berizin dari daftar aset yang diperbolehkan diperdagangkan. Saat ini, Pasal 15 dan 16 POJK 27/2024 mewajibkan pedagang aset keuangan digital untuk menghentikan perdagangan aset kripto yang dicabut atau diperintahkan OJK dalam waktu paling lambat 3 hari kerja. Setelah itu, pedagang dilarang memfasilitasi perdagangan aset tersebut. Pedagang aset kripto juga wajib menyelesaikan kepemilikan aset kripto konsumen dalam waktu maksimal 30 hari dengan tetap menyimpan aset selama proses penyelesaian untuk melindungi hak konsumen.

Dari aspek sistem pelaporan, Penguatan mekanisme pengawasan OJK tercermin dalam sistem pelaporan terstruktur sebagaimana diatur dalam Bagian VII SEOJK 20/2024. Penyelenggara perdagangan aset keuangan digital wajib menyampaikan laporan kepada OJK secara lengkap dan benar, yang terdiri dari laporan berkala dan laporan insidental. Laporan berkala terdiri dari beberapa jenis, Pertama, laporan harian yang berisi ringkasan transaksi setiap pedagang aset keuangan digital dan setiap aset keuangan digital oleh bursa, laporan dana milik konsumen oleh lembaga kliring, laporan aset digital konsumen beserta penempatannya oleh pengelola tempat penyimpanan, serta informasi saldo dan transaksi aset digital. Kedua, laporan bulanan yang mencakup ringkasan transaksi dan laporan keuangan dari setiap penyelenggara perdagangan aset keuangan digital. Ketiga, laporan triwulan berisi laporan tentang pelaksanaan rencana bisnis dan evaluasi mandiri atas manajemen risiko. Keempat, laporan tahunan memuat laporan kegiatan dan laporan keuangan selama satu tahun penuh. Sementara itu, laporan insidental wajib disampaikan dalam waktu 5 hari kerja sejak terjadinya insiden. Laporan insidental tersebut mencakup perubahan nama,, penambahan modal, komisaris, transaksi tidak wajar, dan laporan lain yang diminta oleh OJK.

Selanjutnya, pengawasan aset kripto di bawah OJK juga mengalami peningkatan dari aspek teknologi dan sistem informasi.Hal tersebut tercermin dalam Pasal 21 POJK 27/2024 yang menetapkan standar teknis tinggi dalam pengelolaan sistem pengawasan dan pelaporan oleh bursa mencakup kewajiban memiliki sistem yang akurat, aman, real-time, dan kompatibel.. Bursa wajib memiliki sistem yang melindungi data konsumen serta menyimpan data transaksi dan pengawasan selama minimal 10 tahun, menjaga rekam jejak transaksi selama 6 bulan... Jika ditemukan ketidaksesuaian oleh OJK melalui audit, bursa wajib melakukan penyesuaian atas persetujuan OJK dalam waktu 3 bulan sejak ditemukan ketidaksesuaian.

Dari sisi tata kelola entitas, Bagian IV dan V SEOJK 20/2024 mengatur mekanisme proses penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) bagi pihak terkait dalam penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital, yang terdiri dari pemegang saham pengendali, anggota direksi dan anggota dewan komisaris guna memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III SEOJK 20/2024 sebelum menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu, OJK dapat menilai kembali jika terdapat indikasi masalah integritas, reputasi keuangan, atau kompetensi, berdasarkan bukti atau informasi dari pengawasan atau sumber lain. Penilaian ulang dilakukan melalui klarifikasi, penyampaian hasil sementara, tanggapan pihak terkait, dan penetapan hasil akhir (lulus/tidak lulus) sesuai Lampiran IV SEOJK 20/2024.Secara keseluruhan, ketentuan POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024 menunjukkan bahwa OJK mengadopsi pengawasan yang lebih menyeluruh dan proaktif dibanding Bappebti, dengan fokus pada perlindungan konsumen, tata kelola, dan stabilitas sistem keuangan digital.

Penerbitan POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024 telah membawa penguatan signifikan dalam berbagai aspek pengawasan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, terkait belum diaturnya mekanisme pengawasan terhadap status dan aktivitas calon pedagang aset kripto yang belum melakukan transaksi perdagangan aset kripto. SEOJK 20/2024 telah memperkenalkan mekanisme fit and proper test sebagaimana diatur dalam Lampiran III. Proses ini memastikan bahwa pihak utama dari setiap penyelenggara memenuhi syarat integritas, reputasi, dan kompetensi sebelum memulai operasional. Ini merupakan jawaban atas kritik bahwa pengawasan terhadap calon pedagang pada masa Bappebti terlalu longgar, sehingga berisiko membuka celah penyalahgunaan status administratif.Kedua, mengenai pengaturan pemantauan dan pengawasan yang sebelumnya masih dilakukan secara manual melalui e-mail. SEOJK 20/2024 melalui Lampiran VI telah mengatur pelaporan transaksi harian secara real-time menggunakan platform daring. Hal ini menghilangkan praktik manual seperti pengiriman laporan via e-mail yang dahulu memperlambat pengawasan, sehingga meningkatkan kemampuan OJK dalam memantau aktivitas perdagangan kripto yang cepat dan fluktuatif.

Ketiga, berkaitan dengan lemahnya sistem pengawasan terhadap transaksi harian kripto bernilai material maupun transaksi di luar ketetapan peraturan. OJK telah memperkuat ketentuan pelaporan transaksi tidak wajar dan transaksi mencurigakan melalui Pasal 110 ayat (1) huruf g POJK 27/2024 untuk melakukan pelaporan ke OJK dan Pasal 112 POJK 27/2024 untuk melakukan pelaporan ke PPATK. Penguatan ini mencerminkan penerapan pendekatan berbasis risiko dan perilaku yang lebih terstruktur untuk mengurangi potensi kerugian besar akibat aktivitas yang tidak diawasi.

Keempat, terkait penyampaian informasi kepada publik yang sebelumnya belum transparan dan tidak dilengkapi dengan identitas lengkap seperti whitepaper atau link resmi, POJK 27/2024 telah membawa perubahan penting dalam pengawasan terhadap sistem dan infrastruktur teknologi. Pasal 21 POJK 27/2024 mewajibkan audit independen atas sistem pengawasan dan pelaporan transaksi yang dimiliki oleh bursa dan penyelenggara aset keuangan digital serta mensyaratkan persetujuan OJK untuk setiap perubahan sistem. Dengan sistem yang terverifikasi dan transparan, serta adanya kewajiban keterbukaan informasi, diharapkan dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses data yang akurat dan terpercaya untuk mengenali aset legal. Diperbaikinya kelemahan sistem pengawasan aset kripto di bawah OJK menunjukkan bahwa sistem pengawasan aset kripto sudah jauh lebih adaptif terhadap kompleksitas dan dinamika pasar kripto dibandingkan pada saat di bawah naungan Bappebti.

Perlunya Pengaturan Initial Coin Offering dalam Perdagangan Aset Kripto

Terbitnya POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024 membawa penguatan signifikan dibandingkan mekanisme pengawasan aset kripto di bawah Bappebti. Namun, masih terdapat kelemahan, yakni belum diaturnya secara khusus mekanisme Initial Coin Offering (“ICO”). Kekosongan ini berpotensi melemahkan efektivitas pengawasan serta perlindungan investor. Meskipun POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024 telah memperkuat pengawasan atas perdagangan aset digital yang tercatat di bursa, ketentuan mengenai penawaran perdana aset digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) POJK 27/2024 belum tersedia. Ketiadaan pengaturan ini berpotensi menjadi sarana penipuan dan pelanggaran perlindungan konsumen, seperti kasus EDC Cash yang menipu 57 ribu investor. Selain itu, risiko scam atau fraud juga rentan terjadi dalam ICO, misalnya penerbit dapat memanfaatkan celah untuk meraup keuntungan tanpa menjalankan proyek sesuai janji. Seperti halnya yang terjadi pada ACChain yang mengumpulkan dana Rp 1,14 triliun tetapi kemudian tidak bertanggung jawab.

Menilik Amerika Serikat, Mekanisme ICO di Amerika Serikat berada di bawah pengawasan Securities and Exchange Commission (“SEC”). SEC menganggap sebagian besar ICO sebagai kontrak investasi berdasarkan Tes Howey sehingga harus tunduk pada regulasi sekuritas. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa jalur yang dapat dipilih oleh perusahaan untuk melegalkan ICO, seperti melalui Regulation A atau Regulation D. Regulation A mewajibkan perusahaan untuk mendaftarkan ICO ke SEC dan memungkinkan mereka menghimpun dana hingga USD 50 juta, tergantung pada tingkatnya. Penawaran ini dapat dilakukan secara luas kepada publik dan membutuhkan penyusunan offering circular, dokumen resmi yang berisi informasi rinci tentang perusahaan dan proyek. Sementara itu, Regulation memberikan kemudahan dengan hanya mewajibkan pemberitahuan setelah penjualan sekuritas, namun terbatas hanya kepada investor terakreditasi.

Selain itu, SEC juga membentuk cyber unit yang bertugas khusus mengawasi pelanggaran terkait teknologi blockchain dan ICO, termasuk memberhentikan penawaran yang dianggap ilegal. Perusahaan yang melakukan ICO juga diwajibkan untuk mengungkapkan informasi material proyek, menyediakan laporan keuangan yang telah diaudit, serta menggunakan rekening escrow untuk menampung dana investor. Apabila target pendanaan tidak tercapai dalam periode tertentu, perusahaan diwajibkan mengembalikan dana kepada investor. Oleh karena itu, untuk menghindari ketiadaan pengaturan ICO dan memperkuat pengawasan perdagangan aset kripto, maka Indonesia dapat mengadopsi ketentuan ICO di Amerika Serikat.

Kesimpulan

Sebagai respons atas dinamika pasar aset kripto yang terus berkembang, pengalihan pengawasan dari Bappebti ke OJK melalui UU P2SK dan PP 49/2024 merupakan langkah strategis untuk memperkuat integrasi pengawasan dan perlindungan konsumen. POJK 27/2024 dan SEOJK 20/2024 menghadirkan pendekatan yang lebih terstruktur, dan berbasis risiko, mengatasi berbagai kelemahan sebelumnya seperti keterlambatan pelaporan dan lemahnya pengawasan terhadap entitas tidak berizin. Namun, untuk menyempurnakan kerangka pengawasan, diperlukan pengaturan berkaitan dengan mekanisme ICO. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi mekanisme pengawasan ICO yang mengedepankan transparansi, pengungkapan informasi material, dan perlindungan dana, serupa dengan pendekatan di Amerika Serikat, guna mewujudkan ekosistem aset kripto yang lebih aman dan terpercaya.

Daftar Pustaka

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital, termasuk Aset Kripto dan Derivatif Keuangan.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto.

Peraturan Kepala Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Mekanisme Pelaporan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto.

Tesis

Maharani, A. S. (2023). Urgensi Pengaturan Initial Coin Offering (ICO) di Indonesia (Studi Pengaturan di Amerika). Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.

Laporan dan Dokumen Resmi

Otoritas Jasa Keuangan. (2024). Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/SEOJK.07/2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto. Diakses 21 April 2025 dari https://ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/SEOJK-20-SEOJK07-2024-Penyelen ggaraan-Perdagangan-Aset-Keuangan-Digital-Termasuk-Aset-Kripto/SEOJK%2020 %202024%20Penyelenggaraan%20Perdagangan%20Aset%20Keuangan%20Digital %20Termasuk%20Aset%20Kripto.pdf.

Otoritas Jasa Keuangan. (2025). Siaran Pers Bersama: Bappebti Kemendag Alihkan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan kepada OJK dan BI. Diakses 21 April 2025 dari https://ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Bappebti-Kemendag-Alihk an-Tugas-Aset-Keuangan-Digital-termasuk-Aset-Kripto-serta-Derivatif-Keuangan-k epada-OJK-dan-BI.

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI). (2024). Pengawasan Kripto Belum Optimal. Warta Pemeriksa. Diakses 21 April 2025 dari https://wartapemeriksa.bpk.go.id/?p=49985.

Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Sekretariat Jenderal DPR RI, 2022. Diakses 21 April 2025 dari https://berkas.dpr.go.id/puuekkukesra/na/file/na-217.pdf

Jurnal

Goce, A.N.R. (2020). Model Investasi Cryptocurrency dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mahkamah: Jurnal Riset Ilmu Hukum. Vol. 1. No. 4. hlm. 1–2, DOI: https://doi.org/10.62383/mahkamah.v1i4.208, tersedia secara daring di https://ejournal.appihi.or.id/index.php/Mahkamah.

Haji, R. (2023). Urgensi Penerapan Kerangka Regulasi Aset Kripto yang Komprehensif, Adaptif, dan Akomodatif. Trade Policy Journal, Vol. 2, No. 1, hlm. 331–340. Diakses 21 April 2025 dari https://jurnal.kemendag.go.id/TPJ/article/download/760/384.

Laksito, J. Karisma, D. & Hartono, B. Tantangan Hukum dalam Regulasi Transaksi Kripto di Indonesia: Antara Peluang dan Risiko. JAKSA: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik. Vol. 2. No. 4. hlm. 1. e-ISSN: 2988-5140; p-ISSN: 2988-7747, tersedia secara daring di: https://journal.stekom.ac.id/index.php/Jaksa.

Sumber Internet

Arini, S. C. (2025, Januari 14). OJK Buka-bukaan Alasan Ambil Alih Pengawasan Kripto dari Bappebti. detikFinance. Diakses pada 21 April 2025 dari https://finance.detik.com/fintech/d-7731544/ojk-buka-bukaan-alasan-ambil-alih-penga wasan-kripto-dari-bappebti.

CNBC Indonesia. (2021, Desember 3). Terungkap! Aset Kripto Ini Ilegal, Langsung Ditutup OJK. cnbcindonesia. Diakses pada 21 April 2025 dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20211203140531-37-296458/terungkap-aset-kript o-ini-ilegal-langsung-ditutup-ojk

Pratomo, G. Y. (2025, Februari 12). Peralihan Aset Kripto ke OJK Optimalkan Ekosistem Aset Keuangan Digital. liputan6. Diakses pada 21 April 2025 dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/5917291/peralihan-aset-kripto-ke-ojk-optimalkan -ekosistem-aset-keuangan-digital?page=2

Trisna, C. D. V. (2024, Oktober 23). Ini Alasan Pengawasan Aset Kripto Pindah ke OJK, Bappebti Bermasalah?. KabarBursa.com. Diakses pada 20 April 2025 dari https://kabarbursa.com/makro/94276/ini-alasan-pengawasan-aset-kripto-pindah-ke-ojk- bappebti-bermasalah.Kabar Bursa+1Kabar Bursa+1.